Mencari Titik Temu antara Sains dan Agama
Dalam sejarah peradaban manusia, ikatan sains- agama berlangsung lumayan seru mengingat kedekatan antara keduanya tidak senantiasa sepadan. Pada suatu dasawarsa serta sesuatu teritori, sains serta agama kerap terjebak dalam pertikaian sengit yang menimbulkan banyak ilmuwan tidak ingin menghargai agama. Begitu pula, beberapa kalangan agamawan tidak bisa menikmati temuan- temuan sains.
Lebih dari itu, pola ikatan sains- agama pula sering silih mendominasi sekalian mendiskriminasi. Pada suatu masa di mana pengaruh agama dominan, di situlah kedudukan sains setelah itu tereliminasi jadi disiplin ilmu yang kurang berkreasi sebagaimana mestinya.
Tetapi di lain ruang serta waktu, kala kecenderungan berpikir secara ilmiah memahami suatu komunitas, hingga agama setelah itu disisihkan serta dinilai selaku benda usang yang tidak berharga. Dalam permasalahan ini, kemudian pola evaluasi falsifikasi jadi parameter utama buat mengukur validitas kebenaran seluruh suatu. Serta agama, sebab didiagnosa tidak memiliki keberanian buat diuji secara falsifikasi, kesimpulannya dikira tidak lagi bisa digunakan selaku petunjuk jalur untuk kehidupan manusia.
Demikianlah, tiap- tiap sains serta agama berubah kedudukan serta posisi. Pola ikatan yang lingkungan tersebut, tidak hanya berikan ekses negatif, pula pastinya positif. Perihal ini bisa kita amati dari bermacam kritik yang dilontarkan satu atas yang lain. Kita bisa menyimak serangkaian kritik yang dituduhkan para sainstis terhadap kerangka dasar keilmuan agama, yang dari sinilah setelah itu tersingkap bermacam kelemahan fundamental agama.
Merupakan Stephen Hawking, seseorang pakar hayati yang mendaftar ratusan rujukan yang dibacanya, tanpa memasukkan satu juga novel agama ataupun filsafat. Hawking menghalangi dirinya dengan cuma melaporkan kalau sains telah lumayan menarangkan seluruhnya. Dengah pongah Hawking menyangka agama selaku bagian dari sisa- sisa kebodohan orang primitif( hlm. 29).
Kalangan skeptik ilmiah mengejek agama yang terkadang berlandaskan pada anggapan apriori ataupun kepercayaan, sedangkan sains tidak ingin menerima begitu saja seluruh suatu selaku kebenaran. Tidak hanya itu, agama sangat bersandar pada imajinasi liar, sebaliknya sains bertumpu pada kenyataan empiris. Demikian kepongahan kalangan saintis yang sudah berbuat generalisasi serampangan terhadap agama.
Haidar Bagir dalam novel ini malah mempersoalkan asumsi dari kelompok saintis yang memperhitungkan sains lebih besar perannya dibandingkan agama maupun filsafat. Haidar menarangkan kalau untuk seorang yang menyangka sains lebih besar perannya dibandingkan agama, hingga dia wajib betul- betul menekuni agama ataupun filsafat secara komprehensif. Dengan menekuni keduanya, hingga kelompok yang menyangka sains lebih‘ mulia’ dibandingkan agama ataupun filsafat dapat membagikan evaluasi yang fair.
Dalam permasalahan tersebut, anjuran Haidar, para saintis yang mengkritik agama ataupun filsafat, alangkah baiknya dapat meniru wujud Imam Al- Ghazali yang mengkritik filsafat sehabis menekuni serta menggelutinya sepanjang puluhan tahun. Melansir Al- Ghazali, ungkap Haidar, tidak dapat menghukumi filsafat secara serampangan, melainkan wajib dipilah- pilah( hlm. 140).
Pada peluang lain, giliran agama yang menyerukan segenap kritik menohok pada sains, yang dinilainya sangat mengandalkan pemikiran empirik. Dalam konteks wabah Covid 19, misalnya, terdapat sebagian agamawan yang ngeyel tidak hirau sama sekali atas nasihat ilmu medis dalam perihal protokol penangkalan penularan serta lebih lebih memilah pasrah kepada Tuhan.
Di sinilah repotnya. Di satu sisi, kita kewalahan dengan pengikut agama yang ingin menang sendiri serta mengingkari kebenaran sains. Ulil Abshar Abdalla menyebut model beragama semacam ini merupakan beragama yang“ kandas berusia”. Namun di sisi lain, kita dapati pula pemuja sains yang membodoh- bodohkan pemikiran agama.
Ibarat 2 anak manusia, sains serta agama melaksanakan interaksi yang berubah- ubah. Terkadang keduanya jadi sahabat sejati yang silih setia serta tidak tidak sering jadi musuh bebuyutan yang silih melanda. Lepas dari 2 kecenderungan tersebut, satu perihal yang tentu kalau di antara keduanya terjalin ikatan.
Bagi kedua penulis novel ini, ikatan antara sains serta agama senyatanya silih menunjang serta memenuhi, supaya menguatkan satu sama lain. Bagaimanapun, sains serta agama terletak dalam konteks yang berbeda, tetapi mempunyai titik temu yang sama, ialah mencari jalur kebenaran.
Judul Buku : Sains “Religius” Agama “Saintifik” Dua Jalan Mencari Kebenaran
Penulis : Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : I, Agustus 2020
Tebal : 169 halaman
ISBN : 978-602-441-178-7
Peresensi : Ahmad Fatoni
Pengajar Pendidikan Bahasa Arab FAI-UMM
Posting Komentar untuk "Mencari Titik Temu antara Sains dan Agama"